Selamat atas gelar Dr. Bapak Ir.Muh.Arifin Dahlan MS, salah satu dosen di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas ilmu kelautan dan perikanan Universitas Hasanuddin (MSP FIKP UNHAS)..
Semoga ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat bagi kemajuan masyarakat perikanan
Berikut adalah galeri foto di Sidang Promosi beliau
Minggu, 14 Desember 2014
Rabu, 10 Desember 2014
Peranan Penginderaan Jarak Jauh (remote sensing) dalam Pemantauan Ekosistem Perairan
Teknologi penginderaan jauh (inderaja)
dan sistem informasi geografi (SIG) merupakan teknologi baru yang sangat bermanfaat
dalam pengelolaan sumberdaya perairan. Di Indonesia pemanfaatan teknologi ini
terbilang masih sangat terbatas, terbatas dalam hal sarana dan prasana maupun
dari segi sumberdaya manusianya. Padahal Indonesia sebagai daerah tropis
mempunyai keaneragaman hayati tertinggi di Dunia khususnya diwilayah Pesisir.
Dengan panjang garis pantai yang mencapai 81.791 Km, merupakan pantai
terpanjang kedua di Dunia setelah Kanada. Panjangnya perairan dangkal ini
pulalah yang menjadi habitat dari tiga ekosistem utama yaitu ekosistem
Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang. Di ketahui bahwa ekosistem Mangrove, Lamun
dan Terumbu Karang tumbuh subur diperairan Indonesia sehinga
Peranan ekosistem
Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang
secara fisik di perairan laut dangkal adalah membantu mengurangi tenaga
gelombang dan arus, menyaring sedimen yang terlarut dalam air dan menstabilkan
dasar sedimen. Sementara itu peranan lain yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan berproduksi primer yang tinggi yang
secara langsung berhubungan erat dengan tingkat kelimpahan produktivitas
perikanannya. Selain itu, ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu
Karang diketahui mendukung berbagai
jaringan rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivor maupun
detrivor.
Namun, Dewasa
ini ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang merupakan ekosistem sangat rentan dan peka terhadap perubahan lingkungan
hidup seperti kegiatan alih fungsi lahan, sedimentasi yang berkaitan dengan pembangunan pelabuhan, real
estate, sarana wisata, pembuangan sampah organik cair, sampah padat, pencemaran
oleh limbah industri terutama logam berat, pencemaran limbah pertanian dan
pencemaran minyak serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
seperti potasium sianida dan sabit/gareng. Sehingga kondisi ini dapat menurunkan kemampuan daya dukung (carrying
capacity) ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang dalam fungsinya sebagai produktifitas perairan.
Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu
upaya pemantauan kondisi ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu
Karang. Beberapa informasi yang dapat diperoleh melalui Penginderaan jauh (remote sensing) terhadap ekosistem
perairan antara lain mengidentifikasi komposisi jenis, luas tutupan, biomassa
bahkan dapat memproyeksikan perubahan perubahan yang terjadi terhadap ekosistem
dalam kurung waktu tertentu.
Gambar
1. Salah satu contoh pemanfaatan remote sensing ,menunjukkan perubahan pada ekosistem pada lamun di Pesisir Australia yang terjadi pada tahun 2004 dan 2007 ( Lyons
et al.,2011). Perubahan tersebut misalnya kawasan yang dulunya terdapat lamun
namun kini sudah berubah menjadi alga atau pasir.
Pemantauan
ekosistem perairan dangkal merupakan hal yang sangat baik untuk dilakukan apalagi
dengan kondisi perairan di Indonesia relatif jernih, dimana penetrasi cahaya
yang baik dan mudah diakses oleh bidang data. Selain itu, remote sensing juga menjadikan
lebih hemat biaya daripada pengumpulan data melalui survei lapangan. Meski
demikian remote sensing terhadap
kondisi ekosistem
Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang tetap harus diintergasikan dengan data-data
lapangan agar informasi yang tersedia lebih kompleks sehingga mudah untuk
dimanfaatkan.
Penutup, Berdasarkan uraian singkat
diatas maka sudah sepatutnya kita mengadopsi teknologi remote
sensing ini khususnya dalam memantau
kondisi ekosistem diperairan Laut dangkal. Sehingga dengan pemantauan yang
intensif merupakan sebuah modal awal dalam rangka mewujudkan pengelolaan
sumberdaya perairan secara lestari dan berkelanjutan.
Sabtu, 08 Februari 2014
peneliti berhasil mengidentifikasi lebih dari 180 spesies ikan biofluorescence (sebuah fenomena dimana organisme menyerap cahaya, mengubahnya, dan keluarkan sebagai warna yang berbeda)
Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh para ilmuwan dari American Museum of Natural History
telah merilis laporan pertama mengenai ikan biofluorescence
mengidentifikasi lebih dari 180 spesies yang bersinar dalam berbagai
warna dan pola. Diterbitkan di PLoS ONE, penelitian menunjukkan bahwa
biofluorescence – sebuah fenomena dimana organisme menyerap cahaya,
mengubahnya, dan keluarkan sebagai warna yang berbeda. Kejadian ini
merupakan kejadian umum dan bervariasi diantara berbagai spesies ikan
laut, menunjukkan potensinya yang digunakan dalam komunikasi dan
berkembang biak. Laporan ini membuka pintu untuk penemuan protein
fluorescent baru yang dapat digunakan dalam penelitian biomedis.
Berbeda dengan lingkungan penuh warna di mana manusia dan hewan darat lainnya menghuni, ikan hidup di dunia yang didominasi warna biru karena kedalaman, air menjadi cepat menyerap sebagian besar spektrum cahaya tampak. Dalam beberapa tahun terakhir, tim peneliti telah menemukan bahwa banyak ikan menyerap cahaya biru yang tersisa dan memancarkan kembali dalam hijau neon, merah, dan kuning jeruk.
Investigasi para peneliti pada biofluorescence ikan dimulai dengan pengamatan yang tidak sengaja belut fluoresensi hijau yang bertolak dari Little Cayman, sebagaimana saat itu Sparks dan Gruber sedang melakukan pencitraan biofluorescence karang untuk sebuah pameran American Museum of Natural History Makhluk Cahaya: Alam Cahaya.
Ekspedisi terbaru adalah The Explore21 ekspedisi Kepulauan Solomon, perjalanan pertama di bawah inisiatif baru Museum yang mendukung kerja lapangan eksplorasi yang multidisiplin dan sangat terintegrasi dengan teknologi yang sedang berkembang.
Tim mencatat bahwa banyak ikan biofluorescent memiliki filter kuning di mata mereka, mungkin memungkinkan mereka untuk melihat menampilkan neon dinyatakan tersembunyi berlangsung dalam air. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan, temuan ini menunjukkan bahwa biofluorescence dapat digunakan untuk komunikasi interspesifik sambil tetap disamarkan predator. Kemampuan ini mungkin sangat penting selama bulan purnama, ketika ikan telah terbukti ikut serta dalam ritual kawin.
Sumber: sciencedaily.com
http://www.sci-news.com/biology/science-fish-biofluorescence-01690.html
http://lingkungan.net/2014/01/peneliti-membuka-tabir-dunia-ikan-biofluorescence/
Berbeda dengan lingkungan penuh warna di mana manusia dan hewan darat lainnya menghuni, ikan hidup di dunia yang didominasi warna biru karena kedalaman, air menjadi cepat menyerap sebagian besar spektrum cahaya tampak. Dalam beberapa tahun terakhir, tim peneliti telah menemukan bahwa banyak ikan menyerap cahaya biru yang tersisa dan memancarkan kembali dalam hijau neon, merah, dan kuning jeruk.
Investigasi para peneliti pada biofluorescence ikan dimulai dengan pengamatan yang tidak sengaja belut fluoresensi hijau yang bertolak dari Little Cayman, sebagaimana saat itu Sparks dan Gruber sedang melakukan pencitraan biofluorescence karang untuk sebuah pameran American Museum of Natural History Makhluk Cahaya: Alam Cahaya.
Ekspedisi terbaru adalah The Explore21 ekspedisi Kepulauan Solomon, perjalanan pertama di bawah inisiatif baru Museum yang mendukung kerja lapangan eksplorasi yang multidisiplin dan sangat terintegrasi dengan teknologi yang sedang berkembang.
Tim mencatat bahwa banyak ikan biofluorescent memiliki filter kuning di mata mereka, mungkin memungkinkan mereka untuk melihat menampilkan neon dinyatakan tersembunyi berlangsung dalam air. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan, temuan ini menunjukkan bahwa biofluorescence dapat digunakan untuk komunikasi interspesifik sambil tetap disamarkan predator. Kemampuan ini mungkin sangat penting selama bulan purnama, ketika ikan telah terbukti ikut serta dalam ritual kawin.
Selain itu, penelitian ini mengungkapkan bahwa
biofluorescence ikan sangat bervariasi, menunjukkan bahwa kemampuan
untuk bersinar berevolusi beberapa kali dalam ikan. Studi lebih lanjut
tentang mekanisme fenomena ini bisa mengungkap protein neon baru untuk
digunakan dalam biologi eksperimental.
http://www.sci-news.com/biology/science-fish-biofluorescence-01690.html
http://lingkungan.net/2014/01/peneliti-membuka-tabir-dunia-ikan-biofluorescence/
Langganan:
Postingan (Atom)